naraga.id – Ratusan warga Desa Pelanjau Jaya, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, menggelar Musyawarah Rakyat pada Jumat, 14 Juni 2025. Kegiatan ini menjadi ajang konsolidasi masyarakat dalam memperjuangkan hak atas tanah yang dinilai telah lama diabaikan.
Aksi damai tersebut diikuti oleh lebih dari 200 warga dan menjadi penegasan sikap kolektif terhadap ketimpangan agraria yang masih berlangsung. Warga membentangkan kain putih bertuliskan tanda tangan sebagai simbol komitmen perjuangan bersama.
Dalam kegiatan ini, warga mendapatkan pendampingan dari sejumlah organisasi nasional, antara lain Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) dan Lembaga Bantuan Hukum Tridharma Indonesia (LBHTI). Sejumlah tokoh turut hadir, seperti Sekjen DPP ARUN Bungas T. Fernando Duling, Direktur LBHTI Lipi, serta perwakilan ARUN Kalimantan Barat dan Ketapang.
“Kami datang untuk mendukung perjuangan rakyat yang hak-haknya dilanggar. Perjuangan ini bukan hanya untuk Pelanjau Jaya, tapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia yang menghadapi persoalan serupa,” ujar Bungas T. Fernando dalam orasinya.
Isu utama yang disoroti adalah dugaan penguasaan lahan seluas lebih dari 1.400 hektare oleh PT Budidaya Agro Lestari (BAL), anak perusahaan Minamas Group. Berdasarkan data Petabhumi Kementerian ATR/BPN, perusahaan tersebut diduga tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) sah.
Penjelasan teknis mengenai persoalan lahan disampaikan oleh Muhammad Jimi Rizaldi, dosen Politeknik Negeri Ketapang sekaligus Sekretaris DPD ARUN Kalbar. Ia menegaskan bahwa sebagian besar lahan yang telah ditanami sawit tidak tercatat dalam izin resmi negara.
“Operasi tanpa HGU bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk ketidakadilan struktural yang melukai rasa keadilan masyarakat,” kata Direktur LBHTI, Lipi.
Diskusi berlangsung interaktif. Perempuan dan pemuda desa turut menyampaikan pandangan dan aspirasi mereka. Keterlibatan lintas kelompok usia menunjukkan bahwa isu agraria menjadi kepentingan bersama yang melampaui sekat usia dan gender.
Musyawarah ini tidak hanya memperlihatkan keteguhan warga dalam mempertahankan hak atas tanah, tetapi juga menggambarkan penguatan jejaring advokasi di tingkat lokal maupun nasional. Para pendamping hukum berjanji akan mengawal persoalan ini hingga tuntas, termasuk membawa isu ini ke tingkat pemerintahan pusat jika diperlukan.
“Perjuangan ini tidak akan berhenti di sini. Ini adalah awal dari perlawanan rakyat secara terorganisir demi keadilan agraria,” tutup Bungas.
Tinggalkan Balasan