Ulasan Film: 28 Years Later, Ketika Wabah Zombie Masih Belum Usai

By 1 bulan lalu 3 menit membaca

naraga.idFilm horor distopia 28 Days Later karya Danny Boyle yang dirilis pada 2002 sempat menjadi pionir dalam dua hal: memperkenalkan wabah global dan zombie yang bisa berlari cepat. Kini, lebih dari dua dekade kemudian, lanjutan dari semesta itu kembali lewat 28 Years Later—sebuah film yang menghadirkan pandangan baru, namun tetap berpegang pada kengerian lama.

Film ini menandai kembalinya Boyle dan penulis naskah Alex Garland, yang kini menyuguhkan kisah dunia pasca-apokaliptik setelah mereka sendiri, seperti kita semua, mengalami pandemi nyata. Meski begitu, 28 Years Later tidak terlalu menekankan elemen-elemen dari pengalaman pandemi COVID-19, melainkan lebih banyak menggambarkan dampak isolasi seperti yang tergambar dalam suasana pasca-Brexit.

Alih-alih memperluas skala cerita ke seluruh dunia seperti yang lazim terjadi pada waralaba besar, film ini tetap fokus di Inggris. Negara tersebut digambarkan sebagai zona karantina di mana para “terinfeksi” bebas berkeliaran, dan sekelompok penyintas bersembunyi di Pulau Suci, sebuah lokasi terpencil di timur laut Inggris yang hanya terhubung ke daratan saat air surut.

Boyle, bersama sinematografer Anthony Dod Mantle, kembali berinovasi secara visual—sebagian besar adegan difilmkan dengan menggunakan iPhone. Gaya visual ini memberikan kesan mentah dan tidak rapi, sesuai dengan nada film yang berantakan namun unik. Pendekatan ini memang membuat film terasa tidak stabil dan kadang membingungkan, tapi juga menjauhkan film dari kesan produksi musim panas yang standar.

Kisah berpusat pada Spike, seorang anak berusia 12 tahun yang tinggal bersama ayahnya Jamie (Aaron Taylor-Johnson) dan ibunya Isla (Jodie Comer) yang terbaring sakit. Jamie yang bersikap keras mencoba melatih putranya bertahan hidup dengan cara memburu dan membunuh para terinfeksi. Namun, petualangan pertama Spike membunuh zombie justru menimbulkan dilema moral yang membuka mata.

Konflik muncul ketika Spike mengetahui keberadaan seorang dokter misterius yang tinggal jauh dari desa mereka. Berharap bisa menyembuhkan ibunya, Spike memutuskan untuk mencari dokter tersebut, dengan perjalanan penuh pertemuan ganjil. Ralph Fiennes muncul sebagai sang dokter dalam penampilan eksentrik, sementara Edvin Ryding memerankan seorang tentara NATO asal Swedia yang terdampar di pesisir.

Film ini juga memperkenalkan tipe baru dari para terinfeksi. Selain yang bisa berlari secepat atlet, muncul pula zombie lamban yang dijuluki “Slow-Lows” — makhluk menjijikkan yang merayap di tanah sambil mencari cacing. Kombinasi ini menciptakan nuansa seram yang lebih variatif.

Di balik tumpahan darah dan kekacauan, tersembunyi juga tema tentang kefanaan, kekeliruan dalam merasa diri istimewa, serta dinamika keluarga yang rapuh. Meski tidak selalu konsisten secara naratif, 28 Years Later sesungguhnya menawarkan lebih banyak kedalaman emosional dibanding film horor konvensional lainnya di musim ini.

Danny Boyle, yang dikenal lewat Slumdog Millionaire dan Trainspotting, tampaknya belum selesai dengan semesta ini. Ia sudah menyiapkan kelanjutan berjudul 28 Days Later: The Bone Temple yang akan disutradarai oleh Nia DaCosta, dan berharap 28 Years Later menjadi bagian pertama dari trilogi baru.

Wabah dan kemarahan, rupanya, masih terlalu relevan untuk diakhiri sekarang.


“28 Years Later” diproduksi oleh Sony Pictures dan mendapat rating R karena mengandung kekerasan berdarah, gambar menyeramkan, ketelanjangan, bahasa kasar, serta adegan seksual singkat.
Durasi: 115 menit
Skor: ★★☆☆ dari 4 bintang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Ulasan Film: 28 Years Later, Ketika Wabah Zombie Masih Belum Usai - Ruang Wawasan Cerdas | naraga.id
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%