naraga.id – Sejak Hong Kong kembali berada di bawah pemerintahan Tiongkok pada tahun 1997, wilayah ini tetap mempertahankan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Menariknya, pendekatan tersebut tidak hanya dibiarkan oleh pemerintah pusat, tetapi justru menginspirasi kota tetangganya di utara, Shenzhen β yang sebelumnya hanyalah sebuah desa nelayan biasa.
Lantas, bagaimana mungkin sebuah negara dengan sistem komunis seperti Tiongkok malah menjadikan kapitalisme ekstrem sebagai rujukan? Tidakkah hal ini bertolak belakang secara ideologis?
Untuk memahami fenomena ini, kita perlu melihat lebih dalam perbedaan mendasar antara komunisme dan kapitalisme liberal, serta bagaimana keduanya dapat berinteraksi dalam konteks ekonomi kontemporer.
Filosofi utama: kepemilikan bersama dan kendali negara secara penuh terhadap ekonomi.
Kepemilikan produksi: Semua sarana produksi dikontrol oleh negara untuk kepentingan masyarakat secara kolektif.
Sistem perencanaan: Pemerintah menetapkan jenis, jumlah, dan distribusi barang.
Orientasi utama: Menghapus kesenjangan kelas dan menciptakan masyarakat yang setara.
Penggerak ekonomi: Kebutuhan sosial, bukan keuntungan individu.
π Contoh historis: Uni Soviet di masa Stalin.
π Versi praktis awal: Tiongkok sebelum reformasi ekonomi pada tahun 1978.
Filosofi utama: hak milik individu dan kebebasan pasar.
Kepemilikan produksi: Dimiliki oleh perseorangan atau perusahaan swasta.
Mekanisme pasar: Penawaran dan permintaan menentukan harga, produksi, dan distribusi.
Orientasi utama: Meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan melalui persaingan.
Penggerak ekonomi: Keuntungan pribadi dan kebebasan inovasi.
π Contoh utama: Amerika Serikat, Hong Kong (pra-1997), Singapura.
π Karakteristik: Intervensi pemerintah minim, pajak rendah, regulasi longgar.
Kedua kota ini menawarkan ilustrasi menarik tentang bagaimana dua sistem ekonomi yang kontras bisa hidup berdampingan dalam satu kerangka politik nasional.
Sebelum 1997: Di bawah pemerintahan Inggris, menjadi pusat kapitalisme dengan sistem pajak rendah dan hukum berbasis common law.
Setelah 1997: Meski telah kembali ke Tiongkok, tetap mempertahankan sistem pasar bebas berdasarkan prinsip “satu negara, dua sistem”, walau kini menghadapi tekanan politik dan pembatasan kebebasan sipil.
Dulu: Sebuah perkampungan nelayan biasa tanpa peran ekonomi signifikan.
Sejak 1980: Diubah menjadi Zona Ekonomi Khusus oleh Deng Xiaoping, menjadi medan uji coba kapitalisme ala Tiongkok.
Kini, Shenzhen menjelma menjadi pusat teknologi dan manufaktur global, selevel dengan Silicon Valley. Meskipun model kapitalisme diterapkan, kontrol tetap berada di tangan Partai Komunis.
Ungkapan terkenal Deng Xiaoping, βTidak penting kucingnya hitam atau putih, selama bisa menangkap tikus,β mencerminkan pendekatan praktis yang menjadi dasar kebijakan reformasi ekonomi Tiongkok.
Di satu sisi, Tiongkok tetap mempertahankan sistem satu partai, kontrol media, dan dominasi negara atas sektor strategis. Di sisi lain, ekonomi mereka justru berkembang pesat karena mengadopsi praktik-praktik pasar bebas β terutama di wilayah pesisir seperti Shanghai, Shenzhen, dan Guangzhou.
Model ini kemudian dikenal sebagai:
“Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok” β sebuah hibrida antara ideologi komunis dan efisiensi kapitalis.
Aspek | Komunisme | Kapitalisme Liberal |
---|---|---|
Kepemilikan Produksi | Negara/kolektif | Individu/swasta |
Mekanisme Ekonomi | Perencanaan terpusat | Pasar bebas |
Tujuan Utama | Keadilan & pemerataan sosial | Efisiensi & pertumbuhan ekonomi |
Penggerak Utama | Kebutuhan bersama | Keuntungan pribadi |
Hong Kong mencerminkan bentuk kapitalisme murni yang ekstrem, sementara Shenzhen adalah contoh adaptasi cerdas kapitalisme dalam sistem komunis. Keduanya menunjukkan bahwa dalam praktik, batas ideologi bisa menjadi fleksibel.
Realitas ekonomi dunia modern menuntut pendekatan yang pragmatis. Seringkali, ideologi bukan menjadi batas yang kaku, melainkan menjadi bahan negosiasi demi tujuan yang lebih besar: kesejahteraan dan stabilitas nasional.
(Oleh: Dede Farhan Aulawi)
Tinggalkan Balasan