Tragedi Mei 1998, Pemerintah Diminta Libatkan Eks TGPF dan Penyintas dalam Penulisan Sejarah

By 1 minggu lalu 3 menit membaca

naraga.idPemerintah diminta bersikap bijak dan transparan dalam proses penulisan ulang sejarah nasional, khususnya terkait tragedi Mei 1998. Dr. H. Serian Wijatno, akademisi sekaligus pemerhati sosial, menyarankan agar pemerintah melibatkan mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) serta para penyintas tragedi tersebut agar kebenaran tidak terabaikan, terutama soal dugaan kekerasan seksual massal yang hingga kini masih menuai perdebatan.

“Masih ada pertanyaan besar yang belum terjawab: apakah benar terjadi pemerkosaan dalam kerusuhan itu atau tidak. Untuk menjawabnya, perlu keterbukaan dan keberanian menghadirkan saksi sejarah,” kata Serian di Jakarta, Minggu (15/6/2025).

Pernyataan ini muncul setelah muncul klaim dari beberapa pihak, termasuk Menteri Kebudayaan Fadli Zon, bahwa pemerkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 hanyalah rumor tanpa bukti kuat. Fadli menyebut, dalam banyak referensi, tidak ditemukan bukti nyata terkait hal tersebut. “Kalau memang ada bukti, tunjukkan. Tapi sejauh ini tidak pernah ada,” ujarnya dalam sebuah program wawancara.

Namun, Serian menilai pernyataan itu bisa berbahaya jika tidak dikaji dengan teliti. Ia menegaskan, laporan resmi dari TGPF yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie menyebutkan adanya kekerasan seksual terhadap perempuan, yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya.

Serian juga mengutip pentingnya pernyataan Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, yang menekankan bahwa penulisan ulang sejarah harus dilakukan secara inklusif dan terbuka. Menurutnya, kata “transparan” tak cukup sekadar jargon, tapi harus diwujudkan dalam praktik, khususnya saat menyusun kembali catatan sejarah yang kelam seperti kerusuhan Mei 1998.

“Kalau transparansi diabaikan, apalagi dalam peristiwa besar seperti ini, justru akan menimbulkan prasangka baru. Luka lama yang belum sembuh, bisa kembali menganga,” ujarnya.

Ia menyarankan agar tim penyusun sejarah tidak hanya mengandalkan pandangan para sejarawan, namun juga menggali perspektif dari tokoh-tokoh yang pernah tergabung dalam TGPF seperti KH. Said Aqil Siradj, Bambang Widjojanto, dan Dai Bachtiar. Selain itu, para penyintas yang masih hidup bisa diberi ruang untuk menyampaikan kesaksian secara langsung.

“Ini penting bukan untuk menyudutkan siapa pun, tapi demi akurasi sejarah. Generasi muda berhak mengetahui kebenaran tanpa diselimuti kabut kepentingan politik,” lanjutnya.

Menurut Serian, sejarah tidak boleh dijadikan alat tarik-menarik kepentingan jangka pendek. Tragedi Mei 1998 seharusnya menjadi pelajaran kolektif, bukan bahan perdebatan tanpa arah. Ia memperingatkan agar bangsa ini tidak gagal dalam membangun “politik ingatan” yang sehat dan beradab.

“Menolak mengakui kebenaran hanya karena tidak nyaman, sama saja menolak proses penyembuhan bagi korban. Yang mereka inginkan bukan belas kasihan, tetapi pengakuan dan kejujuran bahwa apa yang mereka alami benar-benar terjadi,” tegasnya.

Ia menutup dengan pernyataan bahwa keadilan tidak akan pernah hadir selama suara para korban diabaikan. “Luka tak akan sembuh jika dianggap tak ada. Trauma tak akan hilang jika terus dipandang sebagai bayang-bayang. Kita butuh keberanian moral untuk mengakui masa lalu, bukan menutupinya,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Tragedi Mei 1998, Pemerintah Diminta Libatkan Eks TGPF dan Penyintas dalam Penulisan Sejarah - Ruang Wawasan Cerdas | naraga.id
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%