naraga.id — Dua nama yang sempat menjadi sorotan publik, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, resmi menghirup udara bebas pada Jumat malam (01/08), setelah Presiden Prabowo Subianto menandatangani Keputusan Presiden terkait pemberian amnesti dan abolisi.
Tom, mengenakan kaus polo biru gelap, keluar dari Rutan Cipinang dengan ditemani istri, tim kuasa hukum, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sambil memeluk sang istri, ia menyampaikan refleksi pribadi tentang masa tahanannya selama sembilan bulan yang disebutnya “bukan proses hukum yang ideal.”
Satu jam sebelumnya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga keluar dari tahanan KPK dengan jas dan kaus merah. Ia mengucapkan terima kasih atas amnesti yang diberikan pemerintah.
Kebebasan keduanya menyusul terbitnya Keppres yang menjadi dasar hukum pengampunan, dan merupakan bagian dari daftar 1.178 narapidana yang diajukan Presiden kepada DPR pada 30 Juli lalu.
Pemberian amnesti dan abolisi kepada dua terpidana kasus korupsi ini langsung menuai kritik tajam. Para pengamat hukum menyebut langkah ini berisiko memperlemah integritas sistem hukum dan mencederai semangat pemberantasan korupsi.
Tom divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula mentah, sedangkan Hasto dijatuhi hukuman 3,5 tahun atas kasus suap terkait Harun Masiku. Keduanya divonis dalam beberapa bulan terakhir—Tom pada 18 Juli, Hasto seminggu sebelumnya.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan bahwa amnesti dan abolisi akan diberikan untuk narapidana tertentu, termasuk pelaku makar tanpa kekerasan, penghinaan kepala negara via UU ITE, dan warga binaan dengan kondisi medis kronis. Koruptor dan pelaku terorisme secara eksplisit tidak masuk daftar.
Namun kenyataannya, dua nama dari kategori yang disebutkan justru mendapat pengampunan.
“Ini preseden berbahaya. Belum pernah ada amnesti atau abolisi untuk terpidana korupsi sejak regulasi ini ada,” ujar Yassar Aulia, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW).
Transparency International Indonesia (TII) juga menyatakan keprihatinannya. Sahel Muzammil, peneliti TII, menyebut pemberian pengampunan terhadap kasus yang belum inkracht sebagai tindakan prematur dan problematik.
“Kalau benar ini kasus politik, kita perlu tahu siapa yang memainkan peran di baliknya. Tidak boleh hukum dijadikan alat politik,” tegas Sahel.
Pemerintah berdalih bahwa keputusan ini diambil dalam semangat menjaga stabilitas politik nasional dan memperkuat persatuan pascapemilu. Dalam pernyataan resminya, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa “pembangunan bangsa membutuhkan keterlibatan seluruh elemen dan kekuatan politik.”
Namun, klaim ini belum cukup menenangkan para kritikus. Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, menyoroti bahwa jika alasan pemberian amnesti bersifat politis, maka semestinya pemerintah menjelaskan secara transparan konteks dan urgensinya.
“Tom dan Hasto jadi tersangka di bawah pemerintahan Prabowo, tapi juga dibebaskan oleh pemerintahan yang sama. Itu perlu dijelaskan, agar publik tidak kehilangan kepercayaan terhadap keadilan hukum,” kata Sulistyowati.
Tom saat ini sedang menempuh proses banding terhadap vonis pengadilan, sedangkan KPK masih mempertimbangkan langkah serupa atas putusan terhadap Hasto.
Publik kini menanti sikap lanjutan dari pemerintah, terutama dalam menjawab keraguan terkait komitmen antikorupsi. Kritikus menilai, jika amnesti ini menjadi celah baru bagi pelaku korupsi untuk lolos dari jerat hukum, maka efek jangka panjangnya bisa sangat merusak sistem peradilan.
Pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan sulit: mempertahankan narasi rekonsiliasi atau membuktikan bahwa pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas—bukan sekadar janji politik.
Tinggalkan Balasan