Strategi Cerdik Indonesia Hadapi ‘Senjata Tarif’ Amerika Serikat

By 6 jam lalu 3 menit membaca

naraga.idIndonesia kembali diuji kecerdikannya dalam menavigasi hubungan dagang dengan kekuatan ekonomi global. Kesepakatan dagang terbaru antara Jakarta dan Washington menuai sorotan tajam. Di satu sisi, Amerika Serikat menurunkan tarif impor produk Indonesia dari 32% menjadi 19%. Namun di sisi lain, Indonesia ‘berkomitmen’ membuka keran impor lebih lebar bagi produk pertanian, energi, dan alat transportasi asal AS — termasuk pesawat Boeing.

Langkah ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini kerja sama yang saling menguntungkan, atau justru bentuk tekanan ekonomi terselubung dari negara adidaya?

Barter Asimetris dalam Balutan Diplomasi Dagang

Beberapa pengamat menyebut kesepakatan ini sebagai bentuk barter asimetris. Indonesia mendapatkan pengurangan bea masuk, namun diimbangi dengan kewajiban membeli produk-produk strategis dari AS — mulai dari jagung, ayam, gas alam cair (LNG), hingga armada udara.

Pemerintah menyambutnya sebagai win-win solution. Namun dalam kacamata lain, ini menjadi instrumen “tarif sebagai senjata dagang” yang dimanfaatkan AS demi kepentingan nasionalnya — sejalan dengan doktrin America First.

WTO Mandul Hadapi Taktik Bilateral

Secara normatif, langkah AS bertentangan dengan prinsip non-diskriminatif dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dijaga WTO. Namun kenyataannya, WTO kerap tak berdaya menghadapi kebijakan sepihak negara besar. Bilateralisme, yang mestinya jadi pelengkap multilateralisme, kini justru kerap digunakan sebagai bypass untuk menekan mitra dagang yang lebih lemah.

“WTO who?” seolah menjadi ungkapan populer ketika kepentingan nasional AS berbenturan dengan aturan internasional.

Senjata Balasan: Non-Tariff Barrier

Indonesia tak sepenuhnya tanpa daya. Selain tarif, instrumen Non-Tariff Barrier (NTB) bisa dimanfaatkan. Sertifikasi halal, standar lingkungan, traceability, dan syarat kandungan lokal adalah bentuk sah dari perlindungan teknis terhadap pasar dalam negeri.

Sepanjang sesuai dengan hukum internasional dan tidak diskriminatif, NTB bisa menjadi benteng pertahanan menghadapi arus barang dari luar. Contohnya: jika ayam beku asal AS tidak memenuhi standar pangan atau preferensi konsumen lokal, Indonesia bisa menolak tanpa dianggap melanggar.

Opsi Timur: BRICS dan Diversifikasi Mitra

Sementara itu, koalisi BRICS+ (termasuk Tiongkok, Rusia, India, dan Brasil) membuka peluang kerja sama ekonomi yang lebih setara. Meski belum semapan Barat, kelompok ini tengah merancang sistem pembayaran alternatif dan forum dagang baru untuk mengurangi dominasi dolar AS dan tekanan ekonomi-politik sepihak.

Namun, tantangan tetap ada: birokrasi kompleks, perbedaan regulasi, dan konflik geopolitik internal di dalam kelompok BRICS masih menjadi penghalang optimalisasi pasar.

Risiko dan Langkah Mitigasi

Kesepakatan dagang dengan AS, jika tak dikelola dengan bijak, berisiko menimbulkan:

  • Ketergantungan pada impor strategis

  • Penurunan ruang kedaulatan industri dalam negeri

  • Potensi defisit neraca perdagangan

  • Tekanan terhadap UMKM yang kalah bersaing

Pemerintah perlu segera melakukan langkah mitigasi strategis:

  1. Diversifikasi pasar ekspor agar tidak bergantung pada AS.

  2. Penguatan produk lokal, terutama melalui sertifikasi halal, eco-label, dan kampanye cinta produk dalam negeri.

  3. Aliansi regional, seperti penguatan peran ASEAN dan BRICS+.

  4. Negosiasi cerdas, pastikan setiap kesepakatan dagang disertai transfer teknologi, bukan sekadar pembelian produk.

Diplomasi Ekonomi: Sopan, Bukan Tunduk

Indonesia perlu memainkan peran sebagai mitra yang kritis namun konstruktif — bukan hanya menjadi pasar besar yang tunduk pada tekanan negara besar. Diplomasi ekonomi harus berpijak pada prinsip saling menguntungkan, memperkuat daya saing nasional, dan menjaga martabat kebijakan publik.

Dalam percaturan geopolitik global, siapa yang terlalu cepat mengangguk, akan sering dijadikan bangku.

Dengan strategi yang cerdik, diplomasi yang cermat, serta keberanian menjaga kepentingan nasional, Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga menjadi pemain penting dalam tata ekonomi dunia yang terus berubah.

(Dede Farhan Aulawi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Strategi Cerdik Indonesia Hadapi 'Senjata Tarif' Amerika Serikat - Ruang Wawasan Cerdas | naraga.id
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%