naraga.id – Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus mengalami peningkatan. Pendiri Kelompok Perempuan dan Sumber-sumber Kehidupan (KPS2K) sekaligus penggagas Feminis Akademi, Iva Khasanah, menyatakan bahwa upaya sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di tingkat daerah masih belum berjalan secara maksimal.
Meski UU TPKS telah disahkan sejak 2022, Iva menilai pelaksanaan aturan tersebut di berbagai wilayah belum menunjukkan hasil signifikan. Ia menyoroti belum adanya keseriusan dari pemerintah daerah untuk membentuk sistem perlindungan yang memadai.
“Payung hukumnya sudah ada, tetapi belum disertai dengan antusiasme dari daerah untuk benar-benar menjalankannya,” ujar Iva dalam wawancara bersama Pro3 RRI, Senin (16/6/2025). Ia menekankan bahwa komitmen lokal terhadap perlindungan korban kekerasan masih lemah.
Menurutnya, sebagian besar unit layanan perlindungan perempuan masih berada dalam struktur kecil di dinas, bukan sebagai lembaga mandiri. “Ada yang masih menyatu dalam subbagian bidang pemberdayaan perempuan saja,” ungkapnya.
Kondisi tersebut menyebabkan keterbatasan dalam hal anggaran dan kewenangan, sehingga program perlindungan dan pendampingan korban tidak dapat dijalankan secara maksimal di banyak daerah.
“Kalau kita melihat dari sisi pembiayaan, alokasinya juga sangat minim,” jelas Iva. Hal ini, menurutnya, menjadi tantangan besar dalam upaya pengurangan angka kekerasan seksual di Indonesia.
Ia juga menyoroti persoalan akses informasi di daerah terpencil, khususnya wilayah timur Indonesia yang masih menghadapi kendala teknologi. “Pengalaman saya di Maluku Utara, banyak pulau yang bahkan tidak bisa mengakses internet,” ujarnya. Ini menjadi hambatan dalam penyebaran edukasi serta pelaporan kasus.
Selain hambatan struktural, Iva juga menyinggung lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual. Menurutnya, sanksi yang diberikan belum cukup memberikan efek jera. “Harus ada hukuman yang membuat pelaku berpikir dua kali,” tegasnya.
Ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum di berbagai wilayah membuat perlindungan terhadap korban menjadi tidak merata antara pusat dan daerah. Iva menekankan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak seharusnya tidak hanya menjadi wacana di tingkat nasional.
“Ini pekerjaan rumah besar yang belum benar-benar kita jalankan dengan serius,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan