naraga.id – Deru angin menghantam kaca jendela SUV, sementara ban kendaraan mengarungi genangan air akibat hujan deras yang mengguyur jalan. Di kejauhan, sebuah awan corong raksasa tampak mengancam di cakrawala. Lalu terdengar suara logam beradu—“ping!”, satu, lalu dua, dan kemudian terlalu banyak dan terlalu cepat untuk dihitung. Suara itu memenuhi seluruh kabin.
Batu es mulai menghantam mobil, dan para ilmuwan justru mengarahkan kendaraan ke arah badai.
“Seberapa besar ukuran esnya?” tanya Kelly Lombardo, seorang profesor meteorologi, dari kursi penumpang.
“Sepertinya cuma seukuran koin lima ratus atau seribu, tapi meluncur dengan kecepatan 80 kilometer per jam,” jawab rekannya, Matthew Kumjian, sambil menyetir hati-hati di tengah jalanan yang mulai tergenang.
Lombardo dan Kumjian adalah bagian dari tim berisi sekitar 60 peneliti yang sedang melakukan pengejaran badai di wilayah Great Plains, Amerika Serikat. Tujuannya: memahami dan memperkirakan dampak hujan es—ancaman yang sering diremehkan tapi merugikan hingga USD 10 miliar setiap tahunnya. Proyek ini dinamakan ICECHIP, dan untuk pertama kalinya, tiga jurnalis dari kantor berita Associated Press ikut mendokumentasikan aksi lapangan langsung dari dalam kendaraan anti-badai.
Hasil dari misi ini sangat penting: data yang dikumpulkan bisa meningkatkan akurasi prakiraan hujan es. Menurut para ahli cuaca, mengetahui apa yang terjadi di dalam badai adalah kunci untuk memahami potensi bahayanya bagi masyarakat.
“Kami masih sering kesulitan memprediksi ukuran butiran es,” kata Victor Gensini, profesor meteorologi dari Northern Illinois University sekaligus salah satu pemimpin proyek. “Setiap riset ilmiah berawal dari pengumpulan data. Tanpa data, kita tidak tahu apa yang kita lewatkan. Dan itulah alasan proyek ini dilakukan.”
Pada hari itu, Lombardo dan Kumjian—pasangan suami istri yang juga dosen di Penn State University—harus menghadapi perubahan cuaca yang cepat sambil tetap fokus mengumpulkan data lapangan.
Beberapa menit sebelum hujan es turun, mereka telah menerbangkan balon cuaca berdiameter satu meter, yang bertugas mengumpulkan informasi dari lapisan awal badai. Di kejauhan, sebuah tornado terlihat bergerak perlahan mendekat.
Tak lama kemudian, ponsel mereka berbunyi nyaring, tanda peringatan tornado, diikuti oleh suara sirene peringatan dari kota terdekat. Tanpa ragu, keduanya masuk kembali ke mobil dan berkendara menuju titik badai yang memungkinkan mereka mengambil sampel es yang jatuh. Di lokasi itulah mereka harus menerobos hujan dan angin kencang, sementara alat pengukur angin di bagian depan mobil terus mengirimkan data ke laptop Lombardo.
“Ini termasuk kategori cuaca ekstrem—baik dari kekuatan angin maupun intensitas curah hujannya,” ujar Kumjian kepada wartawan AP, setelah mereka berhenti di tempat yang lebih aman.
Di titik badai lain, ilmuwan dari Biro Meteorologi Australia, Joshua Soderholm, juga melakukan eksperimen. Ia menerbangkan balon cuaca yang membawa alat berbentuk seperti bola golf, lengkap dengan mikrofon dan sensor khusus. Salah satu balon bahkan berhasil mencapai ketinggian hampir 14 kilometer dengan kecepatan angin lebih dari 260 km/jam.
“Balon ini bebas melayang sesuai keinginan badai,” kata Soderholm. “Inilah satu-satunya cara untuk benar-benar mengukur seperti apa perilaku badai hujan es dari dalam.”
Tinggalkan Balasan