naraga.id – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan pengurangan besar dalam cakupan operasi bantuan kemanusiaannya secara global, menyusul tekanan keuangan yang disebut sebagai yang terburuk dalam sejarah lembaga ini.
Melalui Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), PBB kini mengajukan permintaan pendanaan sebesar USD29 miliar (sekitar Rp471,8 triliun), jauh lebih rendah dibandingkan permintaan sebelumnya sebesar USD44 miliar (sekitar Rp715,9 triliun) yang diajukan pada Desember 2025.
Fokus utama kini dialihkan pada situasi darurat yang paling mendesak melalui skema baru yang disebut “hiper-prioritas”. Kebijakan pemangkasan ini muncul setelah sejumlah negara donor memangkas dukungan mereka, termasuk Amerika Serikat yang selama ini menjadi kontributor utama.
Khususnya, pemotongan dari AS terjadi selama masa kepemimpinan Presiden Donald Trump, yang mendorong negara donor lain melakukan hal serupa, sebagian karena tekanan ekonomi global yang meningkat.
Hingga pertengahan 2025, dana yang berhasil dikumpulkan PBB hanya mencapai USD5,6 miliar (sekitar Rp91,1 triliun), atau sekitar 13 persen dari total kebutuhan. Padahal, permintaan akan bantuan terus meningkat, terutama di wilayah-wilayah konflik seperti Gaza, Sudan, Myanmar, dan Republik Demokratik Kongo.
Tom Fletcher, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan sekaligus Koordinator Bantuan Darurat, mengungkapkan bahwa lembaga kini harus menghadapi pilihan sulit. “Kami hanya meminta satu persen dari anggaran dunia untuk perang. Tapi bahkan itu pun tidak terpenuhi,” ujarnya kepada Al Jazeera, Selasa (17/6/2025).
Fletcher menekankan bahwa permintaan dana ini bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi panggilan moral untuk solidaritas internasional dan tanggung jawab bersama. Ia menegaskan bahwa dana terbatas yang ada akan disalurkan dengan cermat ke wilayah yang benar-benar kritis.
PBB juga akan menyesuaikan rencana kerja bantuan 2025 agar tetap bisa memberikan dampak maksimal meskipun dalam keterbatasan. Fletcher menyatakan komitmennya untuk tetap menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin melalui strategi pendanaan yang lebih efisien.
Sementara itu, Komisioner Tinggi HAM PBB, Volker Turk, menyampaikan keprihatinan dalam pertemuan tahunan Dewan HAM di Jenewa. Ia menyebut pengurangan pendanaan ini tak hanya memperlemah program bantuan, tetapi juga berdampak pada sistem deteksi dini pelanggaran HAM dan perlindungan kelompok rentan.
Turk menegaskan bahwa pemangkasan ini bisa mengancam keberlangsungan berbagai misi penting PBB di lapangan yang selama ini menjadi tumpuan bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Tinggalkan Balasan