(Oleh: Dede Farhan Aulawi – versi baru)
naraga.id – Bayangkan sebuah pagi di pedalaman Sumatra. Kabut masih menggantung di antara pepohonan, sementara mesin pengolah minyak mulai meraung perlahan—seakan menandai dimulainya hari baru bagi para petani sawit. Di tempat-tempat seperti inilah, denyut ekonomi Indonesia sesungguhnya berdenyut: diam-diam, konsisten, dan menyeluruh.
Indonesia dikenal luas sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Namun ada cerita lain yang jarang disorot: kekayaan minyak nabati alternatif yang menyimpan potensi besar—salah satunya adalah minyak serai wangi (citronella). Jika sawit adalah raksasa yang sudah menjejak pasar dunia, citronella adalah permata kecil yang mulai mengilap.
Dengan produksi tahunan sekitar 46–47 juta ton crude palm oil (CPO), Indonesia menguasai sekitar 58% pasar global (USDA, 2025). Tidak berlebihan jika sawit disebut sebagai tulang punggung ekspor non-migas Indonesia. Sektor ini menghidupi jutaan keluarga, dari petani kecil hingga tenaga kerja di industri hilir.
Tahun 2024, nilai ekspor sawit dan turunannya mencapai lebih dari USD 27 miliar (GAPKI/BPDP, 2024), menjadikannya kontributor utama devisa negara. Tapi di balik angka-angka besar ini, muncul satu catatan penting: sebagian besar ekspor masih berupa bahan mentah. Padahal potensi nilai tambah dari produk hilir—seperti biodiesel, oleokimia, hingga bahan kosmetik—masih sangat besar dan belum tergarap optimal.
Untuk mengubah dominasi volume menjadi dominasi nilai, Indonesia butuh lompatan dalam hilirisasi. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga strategi pasar, insentif produksi, dan kejelasan regulasi.
Di sisi lain, citronella oil hadir sebagai komoditas dengan skala lebih kecil tapi punya keunikan tersendiri. Permintaan global memang belum sebesar sawit, namun pasar citronella tumbuh stabil, sekitar 5% per tahun (CAGR), didorong oleh tren global terhadap produk alami: aromaterapi, farmasi, pembersih organik, dan kosmetik wellness.
Indonesia menjadi salah satu produsen utama citronella dunia—terutama dari Jawa—yang terkenal dengan kadar citronellal dan geraniol-nya yang tinggi. Nilai ekspornya memang belum sebanding dengan sawit, namun margin per liternya jauh lebih tinggi. Ini menjadikannya peluang emas, khususnya untuk petani kecil dan koperasi di daerah penghasil.
Jika diposisikan sebagai produk premium dan dipasarkan melalui jalur yang tepat—lengkap dengan sertifikasi mutu dan branding—citronella bisa menjadi “emas hijau” baru dari Indonesia.
Perjalanan kedua komoditas ini tidak terlepas dari dinamika global dan tantangan dalam negeri. Berikut beberapa hal krusial yang patut diperhatikan:
Harga minyak nabati global melonjak akibat ketatnya pasokan dan tingginya permintaan (FAO, 2025). Ini peluang untuk meningkatkan pendapatan nasional, namun juga menuntut stabilitas pasokan dalam negeri.
Industri sawit menghadapi ancaman jangka menengah: semakin banyak pohon sawit yang sudah tua, sementara proses replanting berjalan lambat. Kurangnya akses ke pembiayaan membuat petani kecil enggan menanam ulang. Tanpa pembaruan tanaman secara masif, produktivitas akan menurun.
Kebijakan seperti EU Deforestation Regulation dan pembatasan impor oleh negara-negara barat menekan ekspor minyak nabati mentah. Produk bersertifikat dan berkelanjutan semakin menjadi syarat mutlak untuk menembus pasar utama.
Permintaan terhadap produk berbasis bahan alami terus meningkat. Citronella memiliki posisi strategis jika Indonesia mampu menjamin mutu, keamanan, dan keaslian produknya.
Negara besar seperti India dan Tiongkok mulai menerapkan kebijakan substitusi energi dan pangan yang bisa menggeser pola permintaan. Indonesia perlu cepat membaca arah kebijakan untuk mengamankan ceruk pasar.
Untuk memaksimalkan potensi kedua minyak nabati ini, strategi lintas sektor diperlukan. Berikut beberapa rekomendasi prioritas:
Dorong sertifikasi & traceability
Terapkan standar ISPO/RSPO untuk sawit.
Kembangkan standar mutu nasional untuk minyak atsiri, termasuk citronella.
Percepat replanting melalui skema insentif
Fokus pada petani kecil dengan akses kredit lunak dan dukungan teknis.
Perkuat koperasi & UMKM lokal
Berikan pelatihan hilirisasi, packaging, serta akses pembiayaan dan pasar daring.
Fokus ke pasar hilir bernilai tinggi
Bangun kemitraan dengan buyer internasional untuk produk turunan seperti parfum, bio-lubricant, hingga eco-cleaners.
Bentuk unit pemantau pasar & regulasi global
Aktif membaca kebijakan baru di India, EU, dan AS agar bisa beradaptasi cepat.
Indonesia sudah menjadi pemain utama di dunia minyak nabati. Tapi untuk naik kelas, perlu lebih dari sekadar produksi masif. Hilirisasi, inovasi, dan branding adalah kunci untuk menciptakan nilai tambah berkelanjutan.
Citronella dan sawit menunjukkan bahwa masa depan minyak nabati Indonesia bukan hanya soal kuantitas, tapi juga kualitas dan strategi. Dan untuk itu, waktu terbaik untuk bertindak adalah sekarang.
Tinggalkan Balasan