naraga.id – Di antara sekian banyak sumber sejarah dan hikmah kehidupan, ada satu yang tidak bisa diputarbalikkan, tidak bisa dibeli atau disusun sesuai kepentingan—itulah Al-Qur’an, sumber kebenaran yang konsisten dan objektif.
Coba kita renungkan sejenak kisah Nabi Musa yang berhadapan langsung dengan kekuasaan tirani Firaun. Ini bukan semata narasi keajaiban, tetapi tentang keberanian moral untuk melawan ketidakadilan. Atau kisah Nabi Yusuf, yang meskipun terjerat fitnah dan pengkhianatan, tetap menampilkan kekuatan hati yang bersih, penuh maaf, dan teguh dalam prinsip.
Semua ini adalah bentuk literasi moral yang melampaui zaman. Al-Qur’an tidak menyembunyikan sisi lemah manusia. Bahkan Nabi Adam, manusia pertama, dikisahkan tergelincir oleh bujukan, sebelum kembali kepada kebenaran dengan taubat yang tulus. Inilah esensi kejujuran dalam menyampaikan sejarah: tidak menutupi cela, tidak memoles kepalsuan.
Sementara banyak narasi sejarah modern justru penuh manipulasi—disusun untuk menutupi aib, menjaga citra, dan membentuk persepsi yang menguntungkan.
Kini pertanyaannya mengarah pada kita: masih adakah keberanian untuk bersikap jujur?
Apakah seorang tokoh publik berani berkata, “Saya pernah salah”? Apakah sebuah organisasi atau kelompok berani mengakui bahwa tindakan mereka pernah menyakiti masyarakat atau membawa bangsa ke arah yang keliru?
Dan jika mengakui kesalahan terasa terlalu berat, setidaknya: beranikah kita untuk tidak lagi menyembunyikan kebenaran?
Bangsa besar bukanlah bangsa tanpa cela. Tapi bangsa yang besar adalah bangsa yang sanggup merefleksikan diri, belajar dari masa lalu, dan menata masa depan dengan kesadaran yang jernih.
Saat ini, kita berada di zaman yang penuh ketidakpastian moral. Banyak yang lebih memilih mempercantik catatan sejarah demi menjaga nama baik di masa kini, ketimbang bersikap jujur untuk masa depan yang lebih sehat.
Padahal, sejarah bukanlah panggung pencitraan. Ia adalah ruang belajar bagi peradaban. Siapa pun yang tulus menyumbang bagi kebaikan bersama—meski tidak dipuja atau bahkan dilupakan—dialah yang sejatinya menjadi pahlawan.
Kita butuh sosok-sosok yang bukan hanya bicara kejujuran, tapi hidup dalam kejujuran. Bukan yang mencari panggung, melainkan yang berani mengambil risiko demi membela nilai kebenaran, walau harus menanggung cela atau kehilangan reputasi.
Sudah saatnya kita memandang sejarah dengan cara yang berbeda. Bukan untuk memburu siapa yang salah, tetapi untuk menemukan pelajaran dan memperbaiki apa yang bisa diperbaiki.
Al-Qur’an mengisahkan bukan untuk hiburan, tapi untuk direnungi dan dihidupkan. Karena dari situlah muncul kesadaran baru: bahwa kemajuan sejati bukan soal kekuatan ekonomi atau kecanggihan teknologi, tapi soal karakter dan integritas manusia di dalamnya.
Kejujuran bukanlah kelemahan. Ia adalah fondasi yang membentuk bangsa yang dewasa dan bermartabat.
Mari kita mulai dari langkah kecil: bersikap jujur di lingkungan terdekat, dalam peran sekecil apa pun. Karena masa depan yang lebih baik hanya bisa dibangun dari keberanian menghadapi kenyataan—bukan menyembunyikannya.
Semoga kita menjadi bagian dari generasi yang tumbuh bersama kejujuran, dan membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih terang. Aamiin.
(Oleh: Dede Farhan Aulawi)
Tinggalkan Balasan