naraga.id — Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tengah menghadapi salah satu ujian finansial terberat dalam sejarah modernnya. Lembaga multilateral ini bersiap memangkas hingga 20 persen dari total anggaran operasional senilai $3,7 miliar atau sekitar Rp60,2 triliun, seiring dengan ancaman pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 6.900 pegawai di seluruh dunia.
Rencana penghematan besar-besaran ini terungkap dalam memo internal yang beredar di lingkungan markas besar PBB di New York, dikutip dari Reuters pada Jumat (30/5/2025). Para kepala unit diminta menyusun skenario pemangkasan sebelum tenggat 13 Juni mendatang.
Pemotongan ini bukan sekadar efisiensi anggaran, tapi merupakan respons atas krisis pendanaan yang semakin menekan — sebagian besar dipicu oleh tunggakan Amerika Serikat, kontributor terbesar badan dunia tersebut. AS tercatat belum menyetor hampir $1,5 miliar, termasuk utang masa lalu dan kontribusi tahun berjalan.
Meski memo yang ditandatangani oleh Pengawas Keuangan PBB, Chandramouli Ramanathan, tak secara eksplisit menyalahkan Washington, tekanan anggaran itu disebut sebagai pemicu percepatan reformasi internal bertajuk “UN80”. Inisiatif ini bertujuan mereformasi struktur PBB agar lebih ramping dan relevan menghadapi tantangan geopolitik dan iklim global saat ini.
Reformasi ini dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2026, dan akan mencakup konsolidasi badan-badan PBB, penghapusan birokrasi yang dianggap tidak efisien, serta pergeseran fokus ke wilayah-wilayah dengan kebutuhan lebih mendesak. Bahkan, pemindahan staf ke kota-kota dengan biaya hidup lebih rendah juga menjadi opsi serius dalam agenda restrukturisasi.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengakui bahwa situasi ini berat namun membuka peluang untuk merombak lembaga yang kerap dianggap lamban dan terlalu administratif. “Kita tidak bisa menunda keputusan sulit. Dunia berubah cepat, dan PBB harus ikut bergerak,” katanya dalam pernyataan terpisah.
Tak hanya AS, Tiongkok — penyumbang dana terbesar kedua — juga disebut mengalami keterlambatan dalam pembayaran. Dua negara ini secara kolektif bertanggung jawab atas lebih dari 40 persen anggaran tahunan PBB.
Masalah ini diperparah oleh warisan kebijakan pemerintahan Trump yang memangkas ratusan juta dolar dana sukarela, yang sebelumnya menopang banyak program kemanusiaan mendesak.
Kini, PBB berada di persimpangan jalan: mempertahankan status quo dengan risiko stagnasi, atau menjadikan krisis ini sebagai momentum berani untuk berbenah dan menyederhanakan tubuh raksasa diplomasi global yang telah berusia hampir delapan dekade itu.
Tinggalkan Balasan