naraga.id — Parlemen Iran menyetujui rancangan kebijakan untuk menutup Selat Hormuz, salah satu jalur pelayaran minyak paling vital di dunia. Keputusan itu menyusul serangan udara terbaru yang diluncurkan Amerika Serikat ke tiga lokasi nuklir di Iran atas perintah Presiden Donald Trump.
Selat Hormuz, yang memisahkan Iran dan Oman, merupakan jalur sempit namun sangat strategis yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab. Sekitar 20 persen dari total pasokan minyak global—atau antara 17,8 hingga 20,8 juta barel per hari—melewati perairan ini, menurut data dari firma analisis energi Vortexa yang dikutip The Guardian, Senin (23/6/2025).
Negara-negara utama produsen minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Irak, dan Iran sendiri mengandalkan Selat Hormuz untuk menyalurkan ekspor minyak mereka ke pasar-pasar utama di Asia dan Eropa. Penutupan selat ini dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak besar di pasar energi dunia dan mendorong lonjakan harga minyak secara drastis, yang pada akhirnya dapat memicu gelombang inflasi di berbagai negara.
Langkah Iran ini dipandang sebagai respons langsung terhadap eskalasi militer yang dilakukan Washington. Meski rencana telah disetujui parlemen, keputusan pelaksanaannya masih menunggu persetujuan dari Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Di sisi lain, para pejabat AS memperingatkan bahwa tindakan Iran justru dapat berbalik merugikan negaranya sendiri. Sebab, ekspor minyak Iran juga sangat bergantung pada jalur pelayaran yang sama. Dengan demikian, penutupan Selat Hormuz bukan hanya akan menjadi tekanan terhadap Barat, tetapi juga bisa memperdalam kesulitan ekonomi domestik Iran.
Kabar ini langsung memicu kekhawatiran global. Investor dan pelaku pasar memantau dengan ketat perkembangan situasi tersebut, sementara negara-negara pengimpor minyak bersiap untuk kemungkinan terburuk—termasuk pengalihan jalur pasokan atau penarikan cadangan energi strategis.
Situasi di Selat Hormuz kembali menjadi indikator betapa rapuhnya stabilitas perdagangan energi global terhadap ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Apabila penutupan benar-benar dilakukan, dunia bisa menghadapi tekanan ekonomi yang lebih luas, di tengah ketidakpastian politik internasional yang terus berkembang.
Tinggalkan Balasan