naraga.id – Di era digital saat ini, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengelola komunikasi publik. Informasi kini tersebar luas dan dapat diakses siapa saja melalui berbagai platform media sosial dan sumber terbuka, menjadikan siapa pun dapat menjadi pembuat sekaligus penyebar informasi. Hal ini merupakan bentuk demokratisasi informasi yang sejalan dengan jaminan konstitusional dalam Pasal 28F UUD 1945, yang memberi setiap orang hak untuk memperoleh, mengelola, dan menyebarkan informasi.
Namun, di balik kemudahan tersebut muncul masalah serius: disinformasi—informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menyesatkan dan memecah belah masyarakat. Berbeda dengan misinformasi yang bersifat tidak sengaja, disinformasi bertujuan memanipulasi opini publik dan melemahkan kepercayaan pada pemerintah dan institusi negara.
Kecepatan penyebaran informasi palsu di dunia digital sangat cepat, bahkan melebihi laju penyebaran fakta yang valid. Seringkali, kebenaran harus menunggu proses birokrasi dan konfirmasi yang lambat, sementara berita palsu sudah tersebar luas dan merusak kepercayaan publik.
Fenomena ini dikenal sebagai “truth decay” atau degradasi kebenaran—kondisi di mana batas antara fakta dan opini semakin kabur, opini pribadi sering dianggap fakta, dan kepercayaan terhadap sumber informasi yang kredibel semakin menurun. Istilah ini diperkenalkan oleh Sonni Efron dari Rand Corporation, yang telah melakukan riset mendalam terkait dampak truth decay bagi kebijakan publik dan keamanan nasional.
Truth decay memiliki empat ciri utama: penolakan fakta dasar, kaburnya batas opini dan fakta, dominasi opini pribadi atas data objektif, serta menurunnya kepercayaan terhadap sumber terpercaya. Hal ini sejalan dengan pandangan Garry Kasparov bahwa propaganda modern bertujuan melemahkan daya pikir kritis masyarakat sehingga kebenaran menjadi sulit ditemukan.
Salah satu contoh nyata di Indonesia adalah narasi “matahari kembar” yang muncul di ruang publik. Narasi ini menggambarkan adanya dua pusat kekuasaan dalam pemerintahan, padahal secara konstitusional Presiden Prabowo Subianto adalah pemimpin sah dengan wewenang penuh. Narasi ini mengaburkan fakta dengan opini yang disebarkan melalui berbagai pihak sehingga menimbulkan kebingungan dan potensi delegitimasi pemerintah.
Fenomena tersebut menunjukkan bagaimana opini pribadi dan narasi tanpa dasar fakta objektif dapat lebih dipercaya daripada kebenaran konstitusional. Hal ini mengancam stabilitas dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Menghadapi truth decay, upaya klarifikasi saja tidak cukup. Diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan literasi media dan informasi, serta membedakan dengan jelas antara fakta dan opini yang dibuat-buat.
Tinggalkan Balasan