naraga.id – Keputusan mengejutkan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengenai alih administrasi empat pulau kecil dari Aceh ke wilayah Sumatera Utara memicu kegaduhan di tengah masyarakat. Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil yang selama ini dianggap sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, kini secara resmi tercatat dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut, berdasarkan Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Ketua DPW Partai Gema Bangsa Aceh, Hamdani Hamid, menyuarakan keberatan atas keputusan tersebut. Menurutnya, berdasarkan berbagai dokumen sejarah dan pengakuan masyarakat setempat, keempat pulau tersebut merupakan bagian sah dari wilayah Aceh.
“Sejak masa kemerdekaan, pulau-pulau ini telah tercatat sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Bahkan masyarakat Tapanuli Tengah pun mengetahui bahwa pulau-pulau tersebut dihuni dan diurus oleh warga Aceh,” tegas Hamdani, Sabtu (14/6/2025).
Ia juga mengungkapkan bahwa terdapat makam seorang waliyullah di salah satu pulau, yang dirawat oleh ahli waris bernama Teuku Rusli—nama yang menandakan identitas khas Aceh. Selain itu, Hamdani menyinggung keberadaan dokumen dari Kementerian Agraria tahun 1962 yang juga mencantumkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Provinsi Aceh.
Hamdani mengingatkan pemerintah agar tidak sembrono dalam mengambil keputusan menyangkut batas wilayah, karena potensi konflik horizontal sangat besar. “Jangan sampai luka lama terbuka kembali. Kami sudah melalui masa sulit dan kini hidup dalam damai. Jangan rusak perdamaian itu,” ujarnya penuh harap.
Ia pun mendesak pemerintah untuk mencabut keputusan tersebut guna menjaga stabilitas. “Cabut Kepmendagri, dan persoalan selesai. Jangan ganggu kedaulatan wilayah Aceh. Save Aceh, Save Serambi Mekkah, Save 4 Pulau Aceh,” tambah Hamdani.
Menanggapi polemik tersebut, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa penyelesaian masalah ini tak bisa hanya mengandalkan peta geografis. Ia menyatakan, unsur sejarah dan budaya masyarakat harus menjadi bagian penting dalam pertimbangan.
“Persoalan batas wilayah seperti ini sangat sensitif. Harus dilihat secara komprehensif, tidak hanya melalui koordinat atau garis peta, tetapi juga jejak historis dan nilai-nilai kultural masyarakat setempat,” kata Bima, Jumat (13/6/2025).
Bima mengakui bahwa sengketa ini bukan hal baru dan sudah berlangsung lama. Kini, dengan adanya Kepmendagri, polemik tersebut kembali mengemuka dan mengundang kekhawatiran publik.
Sebagai langkah tindak lanjut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dijadwalkan akan melakukan kajian ulang bersama Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi pada Selasa, 17 Juni 2025. Tim ini akan melibatkan kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial (BIG), serta unsur internal Kemendagri.
Rencananya, setelah kajian teknis dilakukan, pemerintah juga akan mengundang perwakilan kepala daerah, anggota DPR, serta tokoh masyarakat dari Aceh dan Sumatera Utara guna mendengarkan pandangan langsung dari kedua belah pihak, sebagai upaya mencari solusi yang adil dan damai.
Tinggalkan Balasan