naraga.id – Di balik aroma harum daun pisang yang mengepul dari kukusan, tersembunyi kisah kuliner kuno nan kaya rasa: botok. Lebih dari sekadar hidangan, botok adalah puisi kuliner warisan Jawa yang terus berdetak di tengah arus zaman.
Dibuat dari campuran kelapa parut, aneka bumbu rempah, dan bahan utama seperti tempe, tahu, ikan, ayam, hingga jantung pisang, botok diracik dengan tangan penuh intuisi, lalu dibungkus dalam pelukan daun pisang dan dikukus perlahan. Bukan hanya memasak, tapi mematri rasa dan memori dalam setiap lapisnya.
“Setiap rumah punya versi sendiri, dan itu yang membuat botok tak pernah membosankan,” ujar Alex (30), seorang penikmat kuliner tradisional. “Botok adalah tentang kreativitas dan keakraban dengan dapur.”
Memang, tak ada satu pun pakem tunggal dalam resep botok. Di satu dapur, mungkin botok isi telur asin yang mendominasi; di dapur lain, jantung pisang atau ikan asin jadi primadona. Justru fleksibilitas inilah yang menjadikan botok begitu hidup—seolah mengikuti denyut lokalitas dan selera keluarga yang meraciknya.
Mungkin inilah mengapa botok semakin mendapat tempat, tak hanya di meja makan keluarga Jawa, tapi juga dalam menu restoran modern dan festival kuliner dunia. Ia bukan sekadar makanan sehat yang dikukus, tapi juga cerminan kebudayaan yang bersahaja.
Saat dunia kuliner sibuk mengejar kecepatan dan tampilan, botok tetap berdiri anggun—mengusung filosofi kesederhanaan, keberagaman, dan harmoni rasa. Ia tidak mencoba mencuri perhatian dengan gemerlap, tapi perlahan menyentuh ingatan dan rasa.
Botok adalah kuliner yang tak keras suara, tapi kuat makna. Sebuah warisan yang dibungkus dengan cinta, dikukus dengan waktu, dan disajikan dengan kehangatan.
Dan mungkin, di situlah letak keabadian botok: di antara lapis rasa dan kisah yang selalu bisa kita ciptakan ulang.
Tinggalkan Balasan