(Oleh: Dede Farhan Aulawi, versi berbeda)
naraga.id – Dalam sebuah refleksi menarik, Paman BED menggarisbawahi bagaimana keterampilan berbahasa berkorelasi langsung dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat Timor Leste. Hal ini menegaskan kembali bahwa bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi sosial, tetapi juga berperan penting sebagai instrumen bisnis yang vital.
Pagi baru menyapa pasar lintas batas Mota’ain. Hiruk-pikuk suara tawar-menawar menjadi latar kehidupan. Seorang perempuan dari Atambua menatap dua karung beras yang tersusun rapi di depan kios.
“Ini berasnya berapa, Ibu?” tanyanya.
“Lima ratus ribu, tapi kalau dua karung, bisa kurang,” sahut sang pedagang dari Timor Leste, melayani dengan senyum ramah dan bahasa Indonesia yang cukup lancar, meski sesekali logat khasnya muncul.
Bagi pelaku ekonomi perbatasan, bahasa adalah alat negosiasi. Ia menjadi mata uang kedua setelah uang itu sendiri. Tak mengherankan, sebab lebih dari 65% impor Timor Leste berasal dari Indonesia—mencakup kebutuhan pokok seperti beras, semen, hingga bahan bakar (Ministry of Commerce and Industry TL, 2023). Transaksi lintas batas antara NTT dan Timor Leste bahkan bernilai hingga USD 1,2 miliar per tahun (BPS, 2024).
Namun di balik geliat perdagangan tersebut, muncul tantangan tersembunyi: tidak semua warga Timor Leste—terutama generasi mudanya—menguasai bahasa Indonesia. Survei menunjukkan, generasi pra-kemerdekaan (sebelum 2002) memiliki tingkat kefasihan sekitar 80%, sedangkan generasi yang tumbuh di era pasca-kemerdekaan dan bersekolah dalam bahasa Portugis serta Tetum, hanya sekitar 35–40% yang menguasai bahasa Indonesia dengan baik (Taylor-Leech, 2012; UNESCO, 2020).
Kebijakan resmi yang mengangkat Portugis dan Tetum sebagai bahasa nasional jelas berdimensi politik dan identitas. Namun, dalam konteks ekonomi, dominasi dua bahasa ini menyebabkan tantangan praktis: komunikasi bisnis jadi lebih mahal, lambat, dan rawan kesalahpahaman.
Ilustrasi sederhana: dalam sebuah proyek pengadaan dari Indonesia, staf yang tak memahami bahasa Indonesia memerlukan penerjemah. Ini menambah biaya, menunda waktu, dan meningkatkan risiko miskomunikasi. Diperkirakan, hambatan bahasa ini menyebabkan kerugian efisiensi sekitar USD 10–15 juta per tahun, atau 1% dari total impor (estimasi berdasarkan data World Bank, 2018).
Seorang kontraktor di Dili pernah mengeluhkan proyeknya yang tertunda dua bulan hanya karena dokumen teknis dari Surabaya harus diterjemahkan ulang.
“Kalau saja staf saya bisa bahasa Indonesia, proyek ini sudah jalan dari kemarin,” katanya.
Bandingkan dengan para pedagang di perbatasan. Mereka bertransaksi cepat tanpa hambatan linguistik. Bahasa Indonesia menjadi lingua franca yang menyatukan dua wilayah. Tanpa penerjemah, tanpa jeda, transaksi mengalir lancar. Inilah bukti bahwa bahasa bisa mempercepat atau menghambat roda ekonomi.
Sebagai strategi jangka menengah, Timor Leste dapat mempertimbangkan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kerja dalam sektor ekonomi dan perdagangan. Ini bukan soal menggantikan bahasa resmi, melainkan menambah sarana untuk memperluas peluang.
Beberapa langkah yang bisa ditempuh:
Integrasi bahasa Indonesia dalam pendidikan menengah dan kejuruan.
Pelatihan gratis bagi pelaku UMKM, aparatur sipil negara, dan pelaku logistik.
Kerja sama bilateral dengan Indonesia dalam program pertukaran pengajar bahasa.
Di kawasan perbatasan, bahasa Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai penghubung budaya dan ekonomi. Mengembangkan kemampuan berbahasa bukan hanya upaya diplomatik atau kultural, melainkan langkah nyata untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat kerja sama regional. Mengabaikannya berarti menyia-nyiakan potensi besar yang sudah terbukti berjalan.
Tinggalkan Balasan