
naraga.id – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan bahwa penentuan upah minimum tidak bisa diberlakukan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia. Menurut mereka, kebijakan pengupahan harus menyesuaikan dinamika ekonomi daerah serta karakteristik sektor usaha masing-masing.
Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, menyampaikan bahwa komponen kebutuhan hidup layak (KHL) dalam struktur pengupahan idealnya merujuk pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). Ia menilai pendekatan ini penting agar kebijakan upah tetap adil dan menggambarkan situasi ekonomi secara akurat.
“Jika ingin kebijakan pengupahan tetap objektif dan transparan, maka penghitungan KHL harus berdasarkan data Susenas,” ujar Shinta dalam konferensi pers di Kantor Apindo, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Terkait penggunaan angka pertumbuhan ekonomi dalam formula upah minimum, Shinta menegaskan bahwa indikator tersebut tidak dapat disatukan untuk seluruh provinsi. Ia menolak pandangan yang meminta penyamarataan kebijakan secara nasional.
“Formula pengupahan memang mencakup komponen pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak bisa dianggap sama untuk seluruh Indonesia. Kondisi tiap provinsi berbeda-beda,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa disparitas ekonomi antarwilayah—baik dari sisi pertumbuhan, inflasi, maupun perkembangan sektor usaha—menjadi alasan mengapa formula penetapan upah harus bersifat spesifik per daerah. “Karena kondisi ekonomi daerah tidak seragam, maka penetapan upah harus mengikuti keadaan masing-masing wilayah,” tegas Shinta.
Shinta juga kembali menyoroti pentingnya formula penghitungan yang baku untuk menentukan besaran upah minimum tahun 2026. Ia berharap proses penetapan tahun ini tidak mengulang kejadian tahun lalu, ketika kenaikan upah ditetapkan tanpa formula yang jelas.
“Kami berharap penetapan tahun ini mengacu kembali pada formula, bukan sekadar angka tanpa dasar perhitungan,” kata Shinta.
Ia menyebut bahwa para pelaku usaha telah menyampaikan masukan mengenai kondisi dunia usaha saat ini kepada pemerintah, termasuk berkoordinasi dengan Kadin dan asosiasi-asosiasi sektor lainnya.
Menurut Shinta, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 masih menjadi acuan paling ideal untuk menghitung kenaikan UMP. “Di dalam kerangka PP 51/2023 ada prinsip-prinsip penting yang perlu dipertahankan, salah satunya nilai alfa yang harus proporsional dengan kondisi ekonomi, produktivitas, dan KHL di masing-masing daerah,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan bahwa putusan terbaru Mahkamah Konstitusi kembali memasukkan unsur KHL dalam formula pengupahan, sehingga komponen tersebut harus tercakup dalam perhitungan UMP tahun 2026.
Saat ini, Apindo masih menunggu keputusan resmi pemerintah mengenai formula final perhitungan UMP 2026. Diskusi dengan pihak serikat pekerja juga masih berjalan. “Kami menunggu keputusan pemerintah terkait formulanya. Besok kami akan menyampaikan pernyataan resmi,” ujar Shinta di Universitas Indonesia, Depok, Senin (24/11/2025).
Ia menambahkan, perhitungan upah saat ini sejatinya masih mengacu pada PP 51/2023, sebagaimana digunakan pada penetapan UMP 2024. Perbedaannya terletak pada nilai koefisien yang masih belum disepakati antara kalangan pengusaha dan buruh.
Tinggalkan Balasan