Menjaga Gawang Integritas di Tengah Serangan Permainan Kotor

By 3 minggu lalu 4 menit membaca

(Oleh Dede Farhan Aulawi – versi berbeda)

naraga.idSehebat apa pun rancangan sistem, secanggih apa pun teknologi pengawasan, semuanya akan runtuh bila integritas hanya jadi jargon kosong. Bila kita sungguh ingin membangun bangsa yang adil dan sejahtera, integritas bukan sekadar hiasan, melainkan fondasi. Indonesia milik semua anak bangsa—jangan biarkan dikorbankan untuk kepentingan segelintir.

Sepak Bola Tanpa Fair Play

Bayangkan sebuah tim sepak bola yang dikalahkan telak, 0–8. Lawannya tak lebih unggul secara teknik, tapi kemenangan diraih karena sebagian pemain bertahan “main mata” dengan lawan. Di situ sportivitas mati, dan semangat tim terkubur.

Begitu juga dalam dunia profesional. Seorang pekerja jujur bisa frustrasi ketika melihat rekan-rekannya bermain kotor: menyogok, memanipulasi angka, menjual keputusan demi keuntungan kelompok. Sistem mungkin tertulis di atas kertas—tapi integritas harus dijaga di lapangan.

Dari Kantor Migas ke Negeri Singa

Kisah nyata ini datang dari seorang Financial Controller di anak perusahaan BUMN migas. Ia bukan hanya mengurus laporan keuangan, tapi juga menangani risiko, kontrak legal, SDM, hingga denda keterlambatan kapal (demurrage). Kantornya berada di Singapura, pusat perdagangan energi Asia, tempat para raksasa seperti Shell, Trafigura, Glencore, dan Vitol beroperasi dengan profesionalisme tinggi.

Di sanalah ia belajar bahwa integritas tak cukup dengan aturan tertulis. Ia harus dihidupi dalam setiap keputusan dan pertimbangan risiko. Inspirasi itu ia ubah menjadi strategi pertahanan ketat ala sepak bola Italia—Catenaccio—untuk melindungi aset negara dari serangan spekulan.

Membangun Sistem Pertahanan

Anak perusahaan ini ibarat komoditas mahal yang diperebutkan banyak pihak. Harga produknya mencapai ratusan juta dolar. Dari trader kelas dunia hingga politisi berjas pengusaha, semua mencoba masuk lewat celah.

Ia lalu merancang sistem seleksi berbasis risiko—pra-kualifikasi bagi semua mitra bisnis. Dengan adaptasi dari sistem induk, ia menetapkan tiga kriteria wajib:

  1. Pengalaman bisnis terbukti

  2. Kekuatan finansial yang sehat

  3. Fasilitas operasional yang nyata

Hanya mereka yang memenuhi syarat yang boleh masuk ke Daftar Rekanan Mampu (DRM). Itulah pagar pertama yang ia tegakkan.

Mengungkap Kepalsuan di Balik Transaksi

Sebelumnya, banyak pemasok yang sebenarnya hanya broker. Mereka bukan pemilik kapal, melainkan perantara yang hanya menjual invoice. Padahal, perusahaan bisa langsung bekerja sama dengan trader besar—lebih efisien, lebih transparan.

Ia mengusulkan perbaikan, tapi ditolak oleh manajemen anak perusahaan. Alasannya klise: ingin dapat harga termurah. Padahal kenyataannya, sistem yang longgar hanya membuka peluang manipulasi.

Membawa Perjuangan ke Tingkat Atas

Ia tak berhenti di situ. Ia mengajukan langsung presentasi ke Direksi Induk Perusahaan. Di hadapan para pemegang keputusan, ia membeberkan ancaman kerugian besar, bahkan potensi berhentinya operasi kilang jika sistem tak diperbaiki.

Contohnya, ada perusahaan offshore di BVI (British Virgin Islands) yang sengaja menunda penjemputan produk demi menunggu harga naik. Produk menumpuk, kilang nyaris macet, dan semuanya karena ulah spekulan tak bertanggung jawab.

Akhirnya, usulnya disetujui. Sistem pra-kualifikasi diterapkan, mitra fiktif tersingkir, dan perusahaan kembali dikelilingi oleh mitra yang kredibel. Sebuah contoh nyata praktik tata kelola berbasis standar internasional—COSO dan ISO 31000.

Ketika Integritas Kalah oleh Gula

Namun kemenangan itu tak bertahan lama. Tekanan politik dan ekonomi datang dari berbagai arah. Banyak yang lebih memilih “manisnya komisi” daripada menjaga tanggung jawab.

Hanya dalam enam bulan, sistem yang dibangun mulai terkikis. Para pemain kembali mencetak “gol bunuh diri”. Akhirnya, sepuluh tahun kemudian, perusahaan itu gulung tikar. Tahun 2025 jadi akhir cerita: satu per satu petinggi perusahaan diborgol. Direktur utama sudah wafat, yang lain masih diburu. Akuntabilitas pusat? Tak jelas arahnya.

Pelajaran dari Peluit Terakhir

Integritas bukan sesuatu yang bisa ditanamkan lewat prosedur saja. Ia perlu dijaga oleh manusia—oleh individu yang berani menolak arus, meski harus berdiri sendirian di garis belakang.

Tak cukup sistem yang kuat. Kita butuh orang-orang yang siap menjaga gawang, menghalau segala bentuk serangan, dan menolak skor manipulatif. Kita, sebagai masyarakat, punya tanggung jawab: mengawal transparansi, mendorong keberanian, dan mendukung mereka yang memilih jalan lurus meski berat.

Karena kalau tidak, jangan heran jika kita kalah telak—bukan karena tak punya taktik, tapi karena terlalu banyak pemain yang rela menjual integritas hanya demi gol instan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Menjaga Gawang Integritas di Tengah Serangan Permainan Kotor - Ruang Wawasan Cerdas | naraga.id
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%