Kwik Kian Gie: Keteladanan yang Tersisa di Tengah Riuh Kekuasaan

By 1 bulan lalu 3 menit membaca

naraga.idIndonesia baru saja ditinggal oleh salah satu tokoh langka dalam sejarah bangsanya. Sosok yang tak banyak bicara soal dirinya, tapi banyak berbicara soal nasib bangsanya. Ia bukan pahlawan dalam pengertian klasik, bukan pula figur populis yang mengejar tepuk tangan, namun nilai-nilainya menjadikannya teladan di tengah krisis integritas nasional. Dialah Kwik Kian Gie.

Saya tak pernah bertemu langsung dengannya. Tapi dari tulisan-tulisan, wawancara, dan rekaman pemikirannya di berbagai media, saya merasa telah mengenal pancaran integritas yang ia pancarkan.

Dalam iklim politik yang dipenuhi manuver kekuasaan dan pencitraan, Kwik justru menjunjung tinggi kejujuran dan kejernihan logika. Di saat banyak politisi berlomba membungkus kepentingan pribadi dengan jargon nasionalisme, Kwik hadir sebagai sosok yang kritis namun tetap santun, lugas namun tidak meledak-ledak, dan cinta tanah air tanpa harus mengklaimnya secara berlebihan.

“Kita baru menyadari pentingnya suara nurani seperti milik Kwik Kian Gie justru ketika akal sehat mulai menjadi barang langka.”


Spiritualitas Tanpa Label

Kwik bukan agamawan. Ia tidak berdiri di mimbar atau altar. Namun, nilai-nilai yang dihidupinya mencerminkan spiritualitas yang mendalam—yang senyap, namun terasa kuat. Ia nyaris tak pernah mengutip ayat atau hadits, tapi sikapnya selaras dengan nilai-nilai luhur dari berbagai ajaran agama: keadilan, kejujuran, dan empati kepada yang lemah.

Ia pernah menyatakan kekagumannya pada ajaran Islam, terutama yang menyangkut keadilan sosial dan kepedulian terhadap kaum miskin. Baginya, spiritualitas adalah soal kesetiaan pada nurani, bukan tentang simbol atau klaim keimanan.


Sikap Politik: Sosialis Etis, Penolak Nepotisme

Kwik bukan orang yang mudah tergoda kompromi. Di tengah sistem yang sering digerakkan oleh kepentingan ekonomi dan transaksi politik, ia berdiri sebagai sosok idealis. Ia percaya bahwa negara harus melindungi rakyat kecil, bukan tunduk pada kepentingan pasar bebas atau tekanan asing.

Sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan pendiri konsep Ekonomi Kerakyatan, Kwik menolak dominasi segelintir elite—baik dalam negeri maupun luar negeri—atas hajat hidup orang banyak. Ia juga termasuk figur yang berani menantang kebijakan IMF ketika dianggap tidak sejalan dengan kepentingan rakyat.

Dalam forum-forum internasional, ia tidak ragu berbeda pendapat, bahkan berseberangan, jika itu demi melindungi rakyat Indonesia.


Ketika Kekuasaan Tak Lagi Sejalan dengan Prinsip

Yang membedakan Kwik dari banyak tokoh lainnya adalah keberaniannya untuk mundur, ketika nilai-nilai yang diyakininya tidak lagi sejalan dengan arah kekuasaan. Ia tidak takut kehilangan jabatan, karena bagi Kwik, lebih baik mundur dengan harga diri daripada ikut serta dalam kebijakan yang merugikan bangsa.

Ia pernah mengkritik Presiden secara terbuka. Ia mengecam pejabat yang lebih sibuk tampil di depan kamera daripada bekerja dengan data. Namun, dalam setiap kritiknya, tidak ada kebencian. Yang ada hanyalah kegelisahan seorang warga negara yang mencintai bangsanya.


Warisan Seorang Teladan: Bukan Kekuasaan, Melainkan Integritas

Kwik tidak sempurna—dan ia tak pernah mengaku demikian. Tetapi keberanian untuk berkata tidak, sikap jujur ketika yang lain memilih diam, dan kemampuannya menjaga jarak dari kepentingan pribadi adalah kualitas yang semakin jarang kita temukan hari ini.

Ia membuktikan bahwa spiritualitas tidak harus dipertontonkan. Bahwa integritas lahir dari keputusan-keputusan sunyi, yang sering kali tidak terlihat oleh publik. Di ruang-ruang itu, suara hati menjadi satu-satunya kompas.

Dan mungkin, di tengah hingar bingar politik yang penuh kepalsuan, kita memang rindu pada figur seperti Kwik Kian Gie—yang ucapannya berbobot, tindakannya konsisten, dan diamnya pun mengandung makna.


Penutup: Mewarisi Nilai, Bukan Hanya Mengenang Nama

Indonesia tak kekurangan politisi. Tapi kita kekurangan keteladanan. Kwik Kian Gie menunjukkan bahwa keberanian, kejujuran, dan kecintaan pada bangsa tidak harus berteriak. Ia hanya perlu diwujudkan dalam tindakan nyata.

Semoga kepergian beliau tidak sekadar menjadi berita duka, tetapi menjadi pemantik kesadaran baru—bahwa bangsa ini akan besar bukan karena banyaknya kekuasaan, tetapi karena hadirnya integritas yang hidup di dalam setiap warganya.

(Oleh: Dede Farhan Aulawi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Kwik Kian Gie: Keteladanan yang Tersisa di Tengah Riuh Kekuasaan - Ruang Wawasan Cerdas | naraga.id
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%