naraga.id — Pemerintah-pemerintah di berbagai negara kini berlomba mencapai kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat guna menghindari ancaman tarif tinggi yang siap diberlakukan Presiden Donald Trump mulai 9 Juli. Langkah Trump ini menyusul kebijakan tarif resiprokal yang diumumkannya pada 8 April, dengan tenggat waktu negosiasi selama 90 hari, sebagaimana dilaporkan The Straits Times.
Meski ada upaya diplomasi intensif, ketidakpastian tetap menyelimuti proses negosiasi. Trump tetap membuka peluang diberlakukannya tarif tambahan, bahkan jika kesepakatan awal telah dicapai. Hal ini menimbulkan kebingungan di kalangan mitra dagang dan memperlambat laju pembicaraan.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyampaikan bahwa negara-negara yang dianggap tidak cukup kooperatif berisiko kembali menghadapi tarif seperti yang berlaku pada 2 April. “Beberapa negara bersikap terbuka, tapi jika mereka terlalu alot, maka kami tidak ragu memberlakukan kembali tarif sebelumnya,” tegas Bessent.
Sejumlah negara termasuk India, Jepang, Uni Eropa, Korea Selatan, Vietnam, dan Malaysia saat ini tengah menyusun proposal kesepakatan yang diharapkan bisa meredakan ketegangan dagang. Fokus utama mereka adalah mencegah tarif dua digit yang bisa memukul sektor ekspor utama mereka.
Namun di luar pembahasan tarif resiprokal, pemerintahan Trump juga tengah merancang kebijakan tarif baru atas dasar keamanan nasional. Tarif ini akan diterapkan terhadap produk-produk strategis, tergantung hasil investigasi Departemen Perdagangan AS.
Komoditas seperti kayu, tembaga, mineral penting, semikonduktor, farmasi, dan barang elektronik berada dalam radar kebijakan tersebut. Jika dianggap mengancam stabilitas industri domestik atau keamanan nasional, presiden dapat memberlakukan tarif berdasarkan kewenangan yang diberikan Pasal 232 Undang-Undang Ekspansi Perdagangan 1962.
Langkah ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memperkuat basis produksi dalam negeri, terutama di tengah ancaman krisis global. Namun, kebijakan itu memicu kecemasan baru bagi negara-negara mitra dagang.
Sektor-sektor seperti otomotif, baja, dan teknologi tinggi yang menjadi andalan ekspor negara-negara seperti Jepang dan India kini merasa terancam, bahkan meski kesepakatan dagang berhasil dicapai.
Beberapa negara berusaha melobi agar diberi pengecualian dari tarif keamanan nasional, namun belum ada kejelasan dari pihak Gedung Putih. Beberapa pejabat menyatakan kebijakan tersebut bersifat final dan tidak dapat dinegosiasikan, sementara sebagian lainnya membuka kemungkinan pengecualian secara selektif.
Di tengah ketidakpastian ini, banyak negara tetap bersikap hati-hati. Mereka enggan berkomitmen penuh dalam kerja sama dagang jangka panjang tanpa adanya jaminan keamanan dari ancaman tarif mendadak di masa depan.
Tinggalkan Balasan