16 Juni 1976: Demonstrasi Siswa di Soweto Afrika Selatan Berakhir Tragis, Belasan Tewas

By 1 bulan lalu 2 menit membaca

naraga.idPada tanggal 16 Juni 1976, Afrika Selatan diguncang gelombang demonstrasi besar-besaran yang berakhir dengan kekerasan dan menelan korban jiwa. Sedikitnya 12 orang tewas dalam bentrokan antara pelajar kulit hitam dan aparat keamanan di Soweto dan kota-kota lain di sekitarnya. Aksi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan bahasa Afrikaans—bahasa kaum kulit putih penguasa apartheid—sebagai bahasa pengantar utama di sekolah-sekolah untuk siswa kulit hitam.

Protes bermula dari barisan pelajar yang turun ke jalan, menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap sistem pendidikan yang diskriminatif. Mereka membawa poster bertuliskan “Turunkan Bahasa Afrikaans” dan “Hidup Azania”, simbol perlawanan terhadap dominasi rasial di negeri mereka.

Apa yang dimulai sebagai aksi damai berubah menjadi kekacauan ketika polisi menghadang para demonstran di sekitar Sekolah Phefeni, Soweto. Laporan menyebutkan bahwa pasukan keamanan menembakkan gas air mata tanpa peringatan. Ketika para siswa membalas dengan lemparan batu, aparat merespons dengan peluru tajam. Suasana menjadi mencekam. Ledakan suara tembakan bercampur dengan teriakan dan jeritan panik.

Tak hanya di Soweto, kerusuhan dengan cepat menjalar ke kawasan lain seperti Alexandra dan Natalspruit. Di sana, sejumlah bangunan pemerintah dirusak dan dibakar. Bahkan sebuah bus digunakan sebagai alat untuk merobohkan gedung. Di tengah kekacauan, pasukan keamanan diperintahkan berjaga penuh, berusaha mencegah penjarahan dan kerusakan lebih lanjut.

Media lokal, termasuk The Times, menyebut kejadian ini sebagai aksi kekerasan rasial terbesar sejak tragedi Sharpeville tahun 1960. Laporan awal menyebutkan korban jiwa terdiri dari anak-anak kulit hitam dan beberapa pria kulit putih. Namun angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi, karena evakuasi korban terhambat oleh blokade jalan dan massa yang memadati lokasi.

Dalam pernyataannya, Perdana Menteri B.J. Vorster mengklaim bahwa protes ini bukanlah luapan spontan, melainkan “gerakan yang terorganisir” untuk memecah belah masyarakat. Ia menegaskan, pemerintah tidak akan goyah dan akan mengambil langkah tegas guna mengembalikan stabilitas.

Protes ini sendiri merupakan puncak dari ketegangan yang telah berlangsung selama berminggu-minggu. Sejak pertengahan Mei, para siswa mulai memboikot sekolah sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan bahasa yang mereka nilai menindas. Di bawah sistem apartheid saat itu, siswa kulit putih bebas memilih bahasa pengantar, sementara siswa kulit hitam diwajibkan belajar dalam bahasa yang asing bagi mereka.

Kini, dunia kembali menyaksikan bagaimana ketidaksetaraan dan diskriminasi bisa meledak menjadi tragedi. Peristiwa di Soweto menjadi simbol perlawanan generasi muda terhadap ketidakadilan—dan babak kelam dalam sejarah perjuangan panjang Afrika Selatan melawan apartheid.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


16 Juni 1976: Demonstrasi Siswa di Soweto Afrika Selatan Berakhir Tragis, Belasan Tewas - Ruang Wawasan Cerdas | naraga.id
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%